Friday 23 December 2011

ISTANA RATU BOKO

Saya ya di sini.. di Ratu 
Istana Ratu Boko merupakan sebuah bangunan megah yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Istana iniawalnya bernama Abhayagiri Vihara yang berarti biara di bukit yang penuh kedamaian. Istana ini didirikan ntuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Dari sini kita bisa melihat megahnya candi Prambanan dan juga kota Yogyakarta dengan berlatarkan Gunung Merapi.
Istana ini terletak 196 meter di atas permukaan laut. Areal istana seluas 250.000 m2 terbagi menjadi empat wilayah, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian tengah terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Sementara, bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, 3 candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks gua, Stupa Budha, dan kolam terdapat di bagian timur. Sedangkan bagian barat hanya terdiri atas perbukitan.

Gapura kedua, Ratu Boko
Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Pada gapura pertama akan ditemukan tulisan 'Panabwara'. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan, memberi 'kekuatan' sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan itu adalah bangunan utama.
Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2 teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah. Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.
Bila berjalan ke arah tenggara dari Candi Pembakaran., akan ditemui sumur yang penuh misteri. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi. Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awalnya.
Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.
Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha" sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan dengan para pengikut Hindu.
Sedikit yang tahu bahwa istana ini adalah saksi bisu awal kejayaan di tanah Sumatera. Balaputradewa sempat melarikan diri ke istana ini sebelum ke Sumatera ketika diserang oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa memberontak karena merasa sebagai orang nomor dua di pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno akibat pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudhawardani (saudara Balaputradewa. Setelah ia kalah dan melarikan diri ke Sumatera, barulah ia menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Sebagai sebuah bangunan peninggalan, Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya istana ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Itu ditunjukkan dari adanya bangunan berupa tiang dan atap yang terbuat dari bahan kayu, meski kini yang tertinggal hanya batur-batur dari batu saja. 
Seorang turis asal Amerika Serikat mengatakan, "Inilah senja yang terindah di bumi." 

Sumber: http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/ratu-boko/

PANTAI SADRANAN

Gunung Kidul memang sudah sangat terkenal akan keindahan pantainya. Kabupaten ini memiliki pesona wisata tersendiri yang khas dengan icon pantai yang melekat padanya. Sebut saja beberapa pantai yang terkenal yaitu Krakal, Kukup, Baron dan Sundak. Ternyata, di deretan pantai-pantai ini masih tersembunyi suatu pantai yang belum begitu terkenal yaitu Pantai Sadranan. Kali ini saya bersama kelima teman saya mencoba untuk menikmati indahnya pantai ini dan menghabiskan malam di sana.

Pantai Sadranan terletak sekitar 0,5 Km dari Pantai Krakal, tepatnya di sebelah timur Pantai Krakal. Apabila dari kota Yogyakarta, kira-kira membutuhkan waktu 2-3 jam untuk sampai di pantai ini. Ketika memasuki jalan menuju pantai, jalanan masih berbatu-batu dan agak terjal. Sesampainya di sana, kita tidak usah takut meninggalkan kendaraan karena sudah ada penjaga dan disediakan tempat parkir. Apabila ingin bermalam di sana, penjaga pantai tersebut menyediakan perlengkapan seperti tikar dan lampu badai bahkan kayu bakar untuk membuat api unggun.

Ketika sore hari, kita dapat melihat indahnya hamparan pasir putih yang sejuk dan teduh disinari pancaran matahari sore yang indah. Ombak di pantai ini tidak begitu besar dan tentunya dapat menjadi sahabat bermain di indahnya suasana sore itu. Ketika matahari sudah tenggelam, sebuah gubuk dapat dijadikan tempat untuk bermalam. Gubuk ini dapat menampung kira-kira 6-8 orang. Gubuk ini juga pernah dijadikan sebagai salah satu view di film "Perempuan Berkalung Sorban". Gubuk ini tidak jauh dari pantai dan mengahadap ke arah pantai sehingga kita masih dapat mendengarkan suara ombak yang bergemuruh merdu dari tempat ini.

Api unggun dan bakar ikan.. mantabbb
Apabila kita membutuhkan tikar, lampu badai dan kayu bakar, penjaga pantai akan menyediakannya dengan harga sewa yang begitu murah. Bahkan waktu itu, satu ikat kayu bakar dengan ukuran cukup besar dapat dibeli dengan harga Rp. 5.000,00, sedangkan untuk tikar dan lampu badai kita cukup memberikan seikhlasnya saja karena penjaga pantai itu tidak mematok harga. Begitu juga untuk biaya parkir kendaraan. Pada malam hari, kita dapat membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Apabila merasa lapar, kita dapat menikmati menu ikan bakar buatan sendiri yang dibakar di atas api unggun yang kita buat. Akan tetapi, kita harus membeli ikan di Pantai Krakal sebab di Pantai Sadranan tidak ada penjual ikan kala itu. Dua kilo ikan komplit dengan bumbu bakarannya ditambah dengan 6 bungkus nasi dapat dibeli dengan harga Rp. 60.000,00. Sambil berapi unggun, malam itu kami menghabiskan waktu dengan membakar ikan dan kemudian melahapnya hingga tak bersisa.



Semakin malam, air pantai semakin pasang dan mulai naik mendekati daerah gubuk tempat bermalam. Dinginnya angin malam sangat menusuk tulang sehingga kami memutuskan untuk memakai jas hujan sebagai pelindung tubuh. Untuk itu, bagi teman-teman yang ingin mencoba bermalam di sana (di gubuk) lebih baik persiapkan selimut atau baju hangat.

Esok hari Pantai Sadranan
Esok talah tiba, ketika kami terbangun, sungguh indah luar biasa hamparan pasir putih yang sangat mulus tanpa jejak apapun setelah semalam tergenangi oleh air. Dan jejak-jejak serta tulisan-tulisan kami mulai menghiasi indahnya hamparan pasir itu. Pagi itu kami habiskan dengan melihat matahari yang mulai muncul dari peraduannya, sungguh indah luar biasa ciptaan Tuhan ini. Air pantai pun kembali bersinar-sinar terkena cahaya matahari yang masih teduh. Indahnya pantai itu menggugah semangat kami untuk segera menceburkan diri ke dalam air laut yang jernih. Sungguh air pantai yang sangat tenang sehingga kami puas berenang di sana tanpa perlu khawatir akan datangnya ombak besar.


Pantai Sadranan, di situ kami berendam


Yuk bermain pasir


Saya dan karang
Ketika hari semakin siang dan waktu telah menunjukkan pukul 09.00 WIB, kami memutuskan untuk segera membersihkan diri di kamar mandi umum yang telah disediakan dan bergegas pulang. Tak lupa juga kami berbincang-bincang sebentar dengan penjaga pantai dan pamitan. Kira-kira total sewa yang kami keluarkan untuk menginap ditempat itu yaitu Rp. 30.000,00 sudah termasuk sewa tikar, lampu badai, parkir kendaraan dan juga dua ikat kayu bakar. Dan biaya yang kami keluarkan pada petualangan itu Rp. 90.000,00 (untuk berenam dan belum termasuk bensin). Sungguh menyenangkan bukan? Bagi teman-teman yang tertarik kesana, silahkan mencoba ya.


Sunday 11 December 2011

Inikah Dunia Kita


Aku pejamkan mataku
Aku ingin merasakan duniaku
Akupun berjalan dalam setiap langkah di hatiku
Satu per satu aku lalui....
Aku terus berjalan karena hatiku penuh tanya
Aku pejamkan mataku
Aku memandang dalam ke setiap hati yang ada
Hati yang tak lagi ada jarak yang memisahkan diantaranya
Hati yang slalu berkata jujur
Aku memandang sangat dalam
Tak ada yang kutemui selain kesunyian, dan kebisuan hati
Seketika ada yang menarik perhatianku
Sesuatu yang sangat jauh, jauh sekali
Tetapi sangat dekat dan jelas untuk kudengar
Kudengar suara bayi yang menangis kelaparan untuk menyusu ke ibunya yang entah kemana
Kudengar suara jerit siksa orang yang tak berdaya
Kudengar suara anak-anak kecil meminta dijalan raya
Kudengar suara perut kelaparan orang-orang miskin yang lama tak terisi
Kudengar tangisan.....jeritan.....siksaan......yang sangat menyayat hati
Dahiku berdekit
Mataku meneteskan air mata
Air mata dari hati yang dalam
Air mata yang mengungkapkan bahwa aku takkan mampu untuk melewatinya
Aku tak kuat lagi
Tak kuat lagi mendengar semua itu
Aku tak tahan lagi
Aku buka mataku sebagai pengakuan ketidakmampuanku
Sesaat mataku terbuka lebar
Sangat dekat dan sangat jelas kudengar dan kulihat sesuatu
Sesuatu yang sangat menyiksa hati ini
Kudengar tawa terbahak orang-orang kaya
Kulihat tingkah mereka yang tak peduli
Kudengar cacian mereka ke si miskin
Kulihat makanan yang tersia-sia dilantai
Kudengar suara mobil mewah
Ataukah itu BMW.. Avanza...atau apa
Ah tak tahu aku...!!!
Kulihat siksaan yang mereka berikan ke orang yang tak berdaya
Kudengar gaji yang wah yang mereka bicarakan selalu saja kurang
Kulihat dan kudengar perbuatan kotor mereka yang mereka ceritakan dengan bangga
Kulihat dan kudengar.......
Kulihat dan kudengar.......
Kulihat dan kudengar.......
Aku tak tahu lagi harus bagaimana
Yang aku tahu bahwa air mataku menetes lebih deras membasahi pipi
Aku tak akan mengusap air mata ini
Kubiarkan air mata ini mengering sendiri
Sampai saatnya terjawab
Kenapa aku hidup di dunia seperti ini
Hancur!!! Bobrok!!!
Dan tanyaku....
Dunia apa ini?
Dunia yang tak layak berpenghuni
Kacau!!! Tanpa norma
Dan tanyaku
Ataukah ini ujian dari-Nya??
Wajar saja karena tingkah kita perlu koreksi
Wahai penguasa.... Inikah dunia kita???

Life Must Go On


Gue datang ke kantin buat nyamperin Dana.
            “Reseh lo Na, mang lo pikir gue apaan?” gue udah gerah dengan tingkah Dana yang usil dan selalu aja ikut campur.
            “Maksud lo apaan sih, Nez? Dateng-dateng langsung nyolot!” Dana berlagak nggak tau.
            “Eh kemarin lo pulang sekolah ngomong apa ke Gilang? Lo ngomong kan kalo keluarga gue broken bla..bla..bla dan semua keburukan gue lo ceritain ke Gilang. Gue udah percaya banget ma lo tapi setega itu lo ma gue.” air mata gue udah keluar dan gue coba buat nahan emosi.
            “Upz! Lo asal nuduh sih Nez! Gue? Gue nggak pernah ngomong apa-apa ke Gilang. Lo tau berita buruk dari siapa sih? Jangan-jangan ada yang mau ngomporin lo kali, biar kita nggak sobatan lagi.” Dana keliatan panik.
            “Ah whatever Na, ngomong sama lo, seorang penghianat sejati tuh sama aja ngomong ma benda mati!” gue pergi ninggalin Dana dengan air mata penuh di pipi.
            Apa nantinya pandangan Gilang ke gue. Tolol banget sih gue cerita-cerita semua kebobrokan gue ke orang lain. Gue nggak dapet apa-apa tapi gue bakal dapet bencana. Tiba-tiba..
            “Kenapa Nez kok lo mewek gitu? Cerita donk ma gue.” Gandi tiba-tiba dateng dan ngagetin gue. Gue langsung berlagak ceria.
            “Eh lo Gan? Gue nggak apa-apa kok. Tadi cuma jatuh terus kaki gue berdarah nih, sakit.” Gue spontan aja ngomog kayak gitu soalnya tadi emang gue jatuh waktu jam olahraga.
            “Upz! Parah tuh Nez, tar dulu gue ambilin kotak obat di UKS.”
            “Eh Gan, nggak usah. Nggak apa-apa kok.” telat, Gandi nggak peduliin gue dan dia tetep ke UKS.
            Sial! Kenapa sih dia selalu aja dateng disaat gue berantakan…
            “Sini gue obatin dulu, biar nggak infeksi. Lagian ngapain lo bisa jatuh gitu, nggak hati-hati.” Gandi keliatan khawatir.
            “Tadi gue kepleset tau. Siapa juga yang mau jatuh sampe berdarah gini. Gue juga nggak mau kali Gan. Tapi takdir tuh!”
            “Ok, udah nih. Laen kali ati-ati ya. Gue balikin dulu nih kotak obat ke UKS.” Gandi langsung cabut lagi ke UKS.
            Jam istirahat berakhir.
            “Masih ngambek lo ma gue, Nez?” Dana yang duduk sebangku ma gue tiba-tiba nongol.
            “Tau! Gue nggak mau ngomong ama penghianat kayak lo.” gue masih jengkel ma Dana.
            “Hmmm, ok deh Nez. Kita liat siapa yang buat semua jadi kacau kayak gini.” Dana duduk dan dengan tenang dia mengikuti pelajaran.
            Pikiranku kacau hari ini. Aku belum ketemu ama Gilang karena hari ini Gilang nggak masuk sekolah.
            Gue minta ijin ke UKS karena gue ngerasa nggak enak badan, dan pastinya nggak enak perasaan.
            “Napa lo Nez ke UKS. Lo sakit lagi?”
            Tiba-tiba Gandi dateng. Anak yang satu ini selalu aja sok perhatian ke gue.
            “Gue cuma agak pusing nih. Habis ini mungkin gue pulang deh! Mau istirahat aja di rumah.”
            “Lho, emang di rumah ada siapa? Bukannya pada kerja semua?” Gandi merasa khawatir.
            Bokap gue udah pisah ama nyokap gue lima tahun yang lalu waktu gue kelas satu SMP. Nyokap gue seorang yang sibuk banget dan kakak-kakak gue udah kuliah di luar negeri. Dana adalah satu-satunya sahabat gue yang tau kondisi gue. Tapi sekarang di mata gue Dana adalah penghianat.
            “Gan, gue pulang dulu ya.” gue berlari meninggalkan Gandi. Gue udah jenuh dengan pertanyaan-petanyaan tentang keluarga gue. Gue bosan.
            Seharian gue Cuma tiduran di kamar gue yang acak-acakan dan gue harus menjalani hari-hari gue tanpa seorangpun disisi gue. Gue harus ngejalanin rutinitas gue kayak gini.
            “Hai Fara.” balas Gilang saat Fara datang.
            “Hai Gil, dah dari tadi nungguin gue? Sori tadi gue ke ruang guru dulu ngumpulin tugas.” Fara yang cantik, Fara yang terkenal itu semakin akrab aja ama Gilang.
            “Hai Gil, tumben kemarin nggak masuk kenapa? Eh, hai Far.” gue dateng nyamperin mereka.
            “Oh, kemarin gue ada acara wisuda kakak gue.” jawab Gilang singkat.
            “Ehm makin lengket aja lo Gil ama Fara, udah jadian kalian?” Dana tiba-tiba nyamperin gue, Gilang ama Fara.
            Jantung gue berdetak ingin tahu jawaban Gilang. Ehm mereka emang kini keliatan semakin akrab.
            “Ehm, nggak kok. Cuma temen.”
            Ah jawaban yang nggak gue harapkan tapi gue masih penasaran. Ada yang disembunyiin Gilang. Tiba-tiba..
            “Gilang, apa sih lo pake malu-malu gitu. Eh, iya Na, kita udah jadian.” Fara keliatan nggak sabaran.
            Jantung gue serasa berhenti. Astaga! Apa yang gue takutin ternyata kejadian juga.
            “Ayo Nez kita pulang…” tiba-tiba Gandi dateng dan menyeret tangan gue.
            “Hah apa-apaan…” gue kaget banget.
            “Dan ayo kita pulang, musti ngerjain tugas kelompok kita hari ini di rumah gue.” Gandi juga ngajak Dana karena emang kita punya tugas hari ini.
            Kenapa sih musti Dana lagi. Dan kenapa musti Gandi yang nyelametin gue disaat kayak gini.
            “Udah diem aja daripada lo ntar nangis di depan Fara ama Gilang.” Gandi berbisik ke telinga gue.
            Ya ampun! Gandi tau kalo gue…
            “Ada tissue nggak lo Dan?”
            “Hah? Buat apa. Lagian masa gue bawa tissue. Aneh-aneh aja lo Gan.” jawab Dana.
            “Nggak liat apa Neza udah mau nangis gini. Matanya udah merah tuh. Soalnya…”
            “Udah! Cukup Gan!” gue memotong perkataan Gandi soalnya gue takut Dana juga tau.
            “Udah yuk jalan.” kata Gandi.
            Hari ini kacau banget. Gilang udah lupa ama janjinya. Mungkin dia masih inget ama makanan favorit gue. Tapi mana mungkin dia inget ama janji konyol itu. Lagian juga dia udah punya cewek, Fara. Dan Gandi.. kenapa dia bisa tau tentang perassan gue ke Gilang padahal gue selalu diam, bahkan Dana, sahabat gue aja nggak tau.
            “Udah, nggak usah dipikirin lagi!”
Gandi menggandeng tangan gue.
            “Hah?” gue kaget.
            Hari yang nyebelin banget, sampe-sampe paginya gue nggak nafsu buat ikutin pelajaran.
            “Pulang yuk Nez. Udah keburu sore nih.” Gandi ngajak gue pulang karena hari ini kita habis pelajaran tambahan dan pastinya pulang sore.
            “Sabar deh Gan. Gue lagi ngatur buku gue nih.”
            “Gue tunggu nona manis.” Gandi nyeletuk.
            “Ihhh, kesamber setan apa lo ngatain gue nona manis? Emangnya gue merek susu? gue jawab sambil nyengir.
            Waktu keluar dari ruangan kelas, gue ketemu Gilang.
            “Hai Gil!” sapa gue dengan tersenyum.
            “Eh hai Nez. Mau pulang ya?”
            “Iya nih. Lo?”
            “Gue nunggu Fara nih. Belum juga keluar.” Gilang dengan tenangnya nyebut nama Fara. Sama sekali nggak ngerti perasaan gue.
            “Ohhh. Eh iya Gil, gue mau nanya nih. Tentang janji lo.” Ups ngomong apa sih gue.
            “Apa?” Gilang heran sampai-sampai bibirnya manyun.
            “Lo masih inget kalau lo dulu suka ama gue terus lo janji mau nikah ma gue kalo kita udah gede nanti?” hah? Gue ngomong nggak terkontrol.
            “Ohh gue masih inget.”
            Jantung gue copot mendengarnya. Masih ada celah.
            “Gil, pulang yuk.” Fara dateng disaat yang nggak tepat.
            “Santai aja Nez. Semua itu bisa berubah.” Apa maksud lo Gil? Ada hubungannya sama Fara?
            Gue masih bingung…
            “Pulang yuk Nez, lagian si Gilang juga udah cabut. Jangan sampai lo nangis di sini.” Gandi yang dari tadi gue cuekin ternyata masih di belakang gue.
            “Iya Nez, pulang yuk.” Tiba-tiba Dana udah di depan gue. Akhirnya Dana tau semuanya. Tentang keluarga gue dan juga perasaan gue ke Gilang.
            “Gue tau kenapa lo marah-marah ke gue, padahal gue nggak tahu apa-apa tentang yang lo omongin waktu itu.” Dana mencoba menjelaskan.
            “Yang jelas semua ini ada hubungannya ama Fara. Fara udah lama menginginkan Gilang, jadi dia berbuat gini ke lo. Dan akhirnya gue juga yang jadi korban, Nez.” Dana yang malang. Kenapa gue musti marah-marah yang nggak jelas ke dia.
            “Ehm kita bertiga kan sahabat, Nez. Kenapa juga lo musti sembunyiin masalah lo dari kita berdua.” Gandi? Ngomong apa dia. Ya ampun! Akhirnya Gandi tau juga tentang keluarga gue.
            “Kalo lo kesepian masih ada kita berdua kok, Nez.” Gandi dan Dana emang dua sahabat gue yang baik.
            “Terus soal Gilang lo mau gimana?” tanya Dana.
            “Gue juga nggak tau. Dia bilang semua itu bisa berubah tapi gue nggak tau yang dia maksud.” gue sedih banget.
            “Ya udahlah, pulang yuk, udah sore banget nih!” ajak Gandi.
            Gue heran ama Gandi. Dia memilih diam dan nggak mengungkit soal Gilang. Dia malah tersenyum. Senyuman yang hangat rasanya.
            “Udahlah. Hidup masih panjang dan yang pasti life must go on. Moving forward and let it flow.”
            Upz!!! Ceramah yang singkat, padat dan yang pasti mengena banget. Yup! Hidup gue masih panjang, gue masih terlalu muda dan harus menikmati hidup. Entah apa yang terjadi nanti ama gue yang jelas itu kehendakNya. Yang jelas udah direncanain ama Dia dan yang pasti itu yang terbaik buat gue.

Cerpen Gila-ku

(ini sebenarnya hanyalah cerpen yang kubuat sewaktu SMA untuk tugas pelajaran Bahasa Indonesia. Sungguh mawut dan amburadul, hehe)

Cita dan Cinta
Pagi yang menyebalkan. Aku berlari menuju sebuah halte bus, tempat biasanya aku menunggu bus yang melalui sekolahku. Tujuh kurang lima menit, cemas, itu yang aku rasakan. Di tempat aku berdiri, ternyata tak hanya aku yang bermuka cemas pagi itu. Seperti biasa, Fania dan Evan, teman satu sekolahku juga menunggu bus dengan cemasnya karena dikejar waktu.
            “Fan, hehehe.. Kita kompakan terus nih!” sapaku kepada Fania.
            “Dasar kamu Cha, bukannya kompakan nih tapi emang dari lahir kita udah janjian buat telat bareng. Hehehe, bukannya Ibu kamu dulu ngidamnya sama ma Ibuku. Jadi kita ya hobinya sama, telat. Habis ngidamnya sayur kangkung, jadi lemes bin lemot gitu, coba aja ngidamnya daging burung unta, pasti beringas. Wahahaha….” celoteh Fania yang emang anaknya terkenal cerewet.
            “Ah dasar kamu! Enak aja aku disamain ma kamu, lemotnya tuh parah kamu. Amit-amit aku disamain ma kamu.” balasku mengejek.
            “Ehm!” Evan yang dicuekin dari tadi mulai unjuk gigi. “Aku jadi obat nyamuk ya.” sambungnya.
            “Lhah, Van. Mana ada pagi-pagi gini nyamuk ikut nunggu bus di halte. Lagian kamu jadi obat nyamuk segala. Mubadziiirrrr!” aku nyengir ke Evan sambil memalingkan muka.
            “Ah reseh kamu Cha.” balas Evan sambil membuang muka dariku.
            Akhirnya bus yang menuju sekolahku sudah terlihat dari kejauhan. Aku, Fania, dan Evan siap-siap berebut tempat duduk di bus itu. Tak lama kemudian bus sudah di depan kami. Ah ternyata busnya penuh sesak tapi kami bertiga tetap naik karena sudah dikejar waktu.
            “Hah! Kayak biasanya nih, kita musti dipepet-pepet sama  abang-abang yang pada belum mandi ini.” bisikku pada Fania dan Evan.
            “Sssssst! Kamu tuh kebiasaan, tar ada yang denger gimana. Mau dikasih burketnya abang-abang itu?” Evan nyeletuk.
            “Dasar kamu Cha!” Fania nyengir.
            Tak terasa bus udah di depan sekolah. Kami pun turun. Tujuh lebih sepuluh menit. Aduh! Gerbang sekolah sudah ditutup. Terpaksa kami harus meminta surat ijin ke kantor dulu.
            Tok.. tok.. tok..
            “Masuk!” suara Bu Tika terdengar sayu dari luar kelas.
“Maaf Bu, kami telat.” aku meminta ijin masuk. “Busnya lama, Bu.” kataku lagi.
“Sudah berapa kali Ibu bilang, kalian harus datang lebih awal. Cepat duduk!” kata Bu Tika tegas.
“Baik, Bu. Terima kasih.” jawab kami serempak.
Aku duduk di bangku nomer dua dari depan. Fania dan Evan duduk satu meja, tepat di belakangku. Aku baru sadar kalau Danar, temanku satu meja tidak masuk sekolah.
“Ngomong-ngomong Danar kemana, Gan?” tanyaku ke Gana. “Nggak masuk sekolah dia?” tanyaku lagi.
“Sakit katanya Cha. Tadi pagi telpon aku buat diijinin ke guru.” jawab Gana.
“Ohh! Thanks yah.” kataku.
Waktu terus berjalan. Satu demi satu pelajaran sudah terlalui. Tak terasa sudah pukul sembilan lebih lima belas menit.
Kring.. kring.. kring..
“Hah! Akhirnya istirahat juga. Ke kantin yuk, Cha. Laper nih.” ajak Fania.
“Entar aja deh! Sana ajak aja si Evan. Aku mau dikelas dulu.” jawabku tak menghiraukan.
“Ya udah deh! Duluan ya.” Fania dan Evan berlari ke kantin.
Tiba-tiba ada pengumuman dari guru lewat speaker yang ada di pojok atas tiap-tiap kelas. Intinya aku masuk dalam daftar pencarian orang. Ups! Kayak napi aja. Aku bergegas ke ruang guru saat itu juga. Ternyata aku masuk seleksi pertukaran pelajar antar daerah.
“Gila Fan, aku lulus seleksi nih. Lusa aku udah ikut pertukaran pelajar. Mungkin empat bulan ini aku pisah ama kamu nih.” kataku ke Fania.
“Ya ampun, Decha! Beneran kamu?” Fania kaget. “Nggak aku sangka orang sebego kamu bisa lulus seleksi itu, hahaha….”
“Enak aja kamu. Decha gitu loh, inget nama ini Decha Anggita, wakil dari SMA Wirabuwana.” kataku dengan bangganya.
Ah akhirnya pelajaran hari ini selesai juga. Aku ingin cepat-cepat pulang dan mempersiapkan segalanya. Aku yang biasanya pulang bareng-bareng dengan Fania dan Evan, hari ini pulang sendiri karena ingin cepat-cepat sampai rumah.
“Assalamualaikum, Bu.” aku masuk rumah dan mencari Ibu.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Ibu. “Udah pulang kamu, Cha? Tumben kamu kelihatan seneng banget.”
“Iya, Bu. Decha lulus seleksi pertukaran pelajar. Kan udah kelas tiga nih Bu, jadi kesempatan terakhir bisa ikut pertukaran pelajar. Lusa Decha udah berangkat ke Jogja. Doain ya, Bu” kataku dengan gembira.
“Alhamdulillah, Cha. Pokoknya nanti hati-hati ya di sana. Jangan lupa shalat dan berdoa. Belajar juga, kan udah kelas tiga.” Ibu menasehatiku.
“Iya, Bu,” jawabku. “Decha ke kamar dulu, Bu.” aku bergegas ke kamar.
Aku merebahkan diri di tempat tidurku. Hari itu rasanya senang tapi juga sedikit sedih. Bapak yang selalu sibuk dengan urusan kantor hampir-hampir tak tahu perkembanganku, perjuanganku menghadapi masa-masa remajaku. Ah biarlah, toh aku sudah berkecukupan karena Bapak.
Tiba saatnya aku berangkat ke Jogja. Bandung-Jogja aku tempuh dengan bus malam. Aku berangkat sore hari dan sampai di Jogja pagi hari. Lalu aku mencari asrama pelajar yang sudah ditentukan. Ternyata asrama itu tidak jauh dari Malioboro. Pusat perbelanjaan di Jogja. Akhirnya sampai juga aku di kamarku. Aku istirahat seharian dan kemudian malamnya aku berjalan-jalan ke Malioboro bersama teman-teman satu asrama yang ikut dalam pertukaran pelajar itu. Aku sangat cepat menyesuaikan diri dan akrab dengan mereka.
“Eh kita jalan-jalan yuk, mumpung tugas kita belum banyak. Kan kita besok musti ke SMA 1 Jogja buat ikut program pertukaran pelajar ini, trus habis itu kita musti studi juga ke kampus UGM buat bahan karya tulis kita. Jadi sekarang santai-santai dulu.” ajakku ke teman-teman.
“Ok, Cha. Kita cuci mata dulu yuk! Siapa tahu di sini kita-kita dapet kecengan gitu.” kata Rani, pelajar asal Medan yang genitnya minta ampun.
“Wah bagus tuh.” sahut Rizal yang juga pelajar asal Bandung.
Teman-teman yang lain juga setuju. Akhirnya kami berangkat ke Malioboro dengan berjalan kaki.
“Wah! Ternyata asik juga ya suasana malam di Jogja tuh.” kata Meida, pelajar asal Ujung Pandang yang anaknya kalem banget.
“Bener banget tuh Mei, baru kali ini aku ke Jogja.” sahut Rizal.
Waktu aku melihat-lihat souvenir yang dijual di sepanjang jalan Malioboro, seorang laki-laki yang kira-kira umurnya tujuh tahun lebih tua dariku tiba-tiba menyapaku.
“Cha, kamu kah itu?” kata lelaki itu menepuk bahuku.
“Ehm.” aku menoleh kaget. Kulihat lelaki itu dengan terheran-heran. Ternyata dia adalah sahabatku waktu kecil. Putra.
“Putra?” tanyaku terheran-heran.
“Yup, it’s me, Putra.” Putra menjawab dengan lagaknya yang sok.
“Hai apa kabar kamu? Wah wah kamu sekarang udah keliatan kayak bapak-bapak. Dulu kamu tuh dekil banget, liat sekarang, udah sukses kamu ya?” aku ngomong terlalu keras karena terkejutnya sampai-sampai orang di sekelilingku melihatku.
“Ah biasa aja kali, Cha. Aku baik-baik aja Cha, tadi aku  ragu mau nyapa kamu. Aku takut salah orang. Habis kamu sekarang udah gede. Hehehe.. Kok kamu di Jogja Cha? Lagi liburan ya?” tanya Putra.
“Nggak, Put. Aku ada pertukaran pelajar selama empat bulan di Jogja. Eh bentar ya.” aku mendekati rombonganku tadi.
“Eh teman-teman kalian duluan aja, nanti aku nyusul ya.” kataku ke teman-teman yang lain.
“Ok, Cha. Kamu hati-hati ya. Nanti kamu sms aku aja kalau udah selesai biar nanti kita bisa ketemu dimana gitu trus pulang bareng.” jawab Rizal.
“Ok!” jawabku.
Aku beralih ke Putra. Wow! Putra jauh berbeda dengan Putra yang aku kenal dulu. Putra yang dulu hitam, dekil, nakal, dan suka jailin aku, sekarang sudah berubah jadi Putra yang ehmmm, bisa dibilang keren. Setahu aku Putra kuliah di UGM Fakultas Kedokteran. Sepuluh tahun yang lalu dia dan keluarganya pindah ke Jogja karena orang tuanya pindah tugas ke Jogja.
“Eh Put, denger-denger kamu nerusin di UGM ya?” tanyaku.
“Iya, udah hampir enam tahun aku kuliah nih. Hehehe tapi belum lulus-lulus. Maklum aku kan pemalas. Sifat malasku nggak berubah dari dulu. Kamu sendiri?” Putra berbicara dengan gaya bicara yang khas.
“Aku sekarang kelas tiga, Put. Yah aku ikut pertukaran pelajar karena ini kesempatan terakhir aku bisa ikut. Sekalian buat pengalaman dan sekaligus rekreasi gitu.” jawabku sambil nyengar-nyengir. “Oh iya, Put. Kamu kan kuliah di UGM nih, sekalian dong aku dibantuin. Kan ada program buat karya tulis gitu tentang kampus kamu itu. Bantuin aku dan teman-teman yang lain yah. Anterin muter-muter ke kampus kamu.” pintaku ke Putra.
“Ok, Cha. Siiip deh! Nanti aku jemput kalian di asrama kalian aja. Takutnya nanti kamu kesasar di Jogja. Terus kita muter-muter kampus, mau nggak?” Putra nawarin bantuan.
“Ehm, setuju banget Put. Ok deh kalau gitu. Ya udah Put, tukeran nomer hp dulu yuk, biar gampang buat komunikasi. Nanti kalau ada apa-apa busa sms atau telpon. Nih nomer hpku, catet ya. Nomer kamu berapa, Put?” aku tukeran nomer hp dengan Putra sambil saling menyebutkan nomer masing-masing.
“Ok deh siip.” jawab Putra.
“Ya udah, Put. Thanks ya. Aku mau cabut dulu nih. Udah malam. Takut teman-teman pada nungguin aku. Ketemu lagi besok yah.”
“Ok deh, Cha. Hati-hati yah!” kata Putra.
Aku meninggalkan Putra di tengah keramaian Malioboro. Aku bergegas mencari teman serombonganku. Tak lama kemudian aku menemukan mereka dan kami pun pulang ke asrama. Malam itu benar-benar suatu kebetulan karena aku busa bertemu dengan Putra. Sahabatku yang sudah lama berpisah denganku. Di kamar asramaku aku hanya memikirkan Putra. Putra yang sekarang sudah berubah dengan drastis. Putra yang lebih dewasa. Hingga akhirnya aku tertidur.
“Cha, bangun udah pagi. Cepat mandi, takut kita nanti telat ke SMA 1 Jogja terus masih ada acara juga nanti di UGM.” Rizal membangunkanku. Ternyata aku ketiduran tadi malam.
Putra sms aku.
Cha, hari ini aku free. Katanya kamu ama teman-temanmu ada acara di UGM buat karya tulis. Mau aku jemput jam berapa?
Kemudian aku membalas smsnya
Maaf Put baru balas. Aku baru bangun. Nanti jam sebelas kamu ke asrama. Aku pagi ini ada acara di SMA 1 Jogja. Thanks.
Rizal di lantai bawah sedang asik menyiapkan sarapan buat teman-teman asrama. Rizal itu anaknya baik. Dia perhatian dengan teman-temannya.
“Ehm yummy banget Riz, telor goreng ama mie goreng yang mengundang selera nih.” kataku sambil berjalan menuju meja makan.
“Iya dong, Cha. Chef Rizal gitu loh.” Rizal menimpali dengan bangganya. “Tuh teman-teman udah pada turun. Makan bareng-bareng yuk.”
“Huhuhu, si Koki udah masak ya, ah senangnya ada koki yang baik hati.” kata Rani sambil berlari ke arah makanan yang udah siap buat disantap.
“Haduh… Ga berubah kelakuan anak satu ini.” Rizal terheran-heran dengan tingkah Rani yang bukan maen usilnya.
Rizal, Meida, Rani, dan aku akhirnya makan bersama. Walaupun baru kenal, kami sudah merasa dekat. Setelah itu kami bergegas ke SMA 1 Jogja. Waktu cepat berlalu. Di SMA 1 kami melihat-lihat keadaan SMA, kegiatan belajar mengajar di SMA itu dan segala fasilitas di SMA itu. Selama di SMA itu, aku dan Rizal saling bertukar cerita dan tak tahu kenapa, hari itu aku dan Rizal begitu dekat. Akhirnya kami kembali ke asrama pukul sepuluh lewat tiga puluh menit.
“Ah! Capek banget yah teman-teman. Kita istirahat bentar aja soalnya habis ini Putra jemput kita untuk lihat-lihat kampus UGM.” kataku ke Rani, Meida, dan Rizal.
            Tak lama kemudian Putra sudah menjemput kami. Kami pun naik ke mobilnya dan menuju ke UGM. Aku duduk di depan bersebelahan dengan Putra. Aku dan Putra ngobrol dengan asik dan tak terasa kami sudah sampai di kampus UGM. Kami pun turun dan segera melihat-lihat kampus, ke fakultas yang kami rasa penting untuk karya tulis, dan melihat fasilitas-fasilitas kampus. Aku pun sudah lama berniat melanjutkan kuliah ke UGM dan mengambil Fakultas Kedokteran. Keinginanku semakin kuat.
            “Put, aku pengen banget deh kuliah di kampus ini. Pengen jadi junior kamu tau nggak. Udah lama sih aku pengen, apalagi udah lihat kampusnya, jadi makin demen aku.” aku membuka percakapan dengan Putra.
            “Wah! Bagus dong, tapi bentar lagi aku lulus, Cha. Nanti aku kasih tahu soal kampus ini deh.” kata Putra.
            Rizal dari tadi terlihat murung. Mungkin Rizal sakit.
            “Riz, kamu sakit? Kok dari tadi muka kamu muram gitu.” tanyaku.
            “Nggak, Cha. Aku cuma capek aja kok. Tapi nggak apa-apa. Nanti pulang terus istirahat.” jawab Rizal dingin.
            Setelah dirasa cukup, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke kantin Fakultas Kedokteran. Fakultas dimana Putra berkutat dengan dunia kampusnya. Kami makan siang disana. Putra mentraktir kami. Sewaktu Putra membuka dompetnya, aku melihat foto Putra dengan seorang wanita yang menurutku dewasa dan cantik. Tak tahu kenapa aku jadi bingung dan diam. Aku dan Rizal sekarang sama-sama diam. Akhirnya kami pulang ke asrama dan Putra kembali ke rumahnya setelah mengantar kami.
Di Jogja kami lalui hari-hari kami secara normal. Sudah hampir empat bulan kami di Jogja dan satu minggu lagi kami semua kembali ke daerah masing-masing. Aku semakin akrab dengan teman-temanku di asrama, terutama Rizal. Putra? Aku sudah jarang berkomunikasi dengan dia. Mungkin dia juga sibuk dengan kuliahnya dan pacarnya.
“Sebentar lagi tugas kita selesai, kebersamaan kita juga akan berakhir. Tapi kita jaga komunikasi kita ya.” kata Rizal memecah kesunyian di ruang tengah asrama.
“Setuju Riz, kita harus tetap kompak ya.” sahutku.
“Yup yup, setuju.” jawab Rani dan Meida kompak.
Akhirnya kami mengobrol sampai pukul sembilan. Rani dan Meida bergegas menuju kamar masing-masing karena sudah lelah dengan tugas harian. Di ruangan itu tinggal aku dan Rizal. Aku enggan berada di kamar sendiri karena aku terus saja memikirkan Putra.
“Kamu nggak tidur, Cha? Nggak capek kamu? Tidur gih!” kata Rizal menyuruhku beristirahat.
“Bentar Riz. Aku lagi males sendirian di kamar. Rasanya sepi dan ada aja yang aku pikirkan.” kataku menjelaskan.
“Ya udah aku temenin deh.” Rizal selalu terlihat perhatian kepadaku.
“Kamu kok perhatian sih Riz ke aku. Makasih ya.” aku merasa senang diperhatikan oleh Rizal.
“Kita di sini tinggal seminggu lagi. Aku senang kenal ma kalian, aku senang kenal ma kamu, Cha.” kata Rizal serius. Akan tetapi, aku tak tahu maksud Rizal.
“Me too, Riz. Kamu tuh bener-bener temen yang baek, perhatian dan yang pasti koki yang hebat, hehehe.” aku menjawab dengan cengengesan.
“Cha…” Rizal sepertinya ingin ngomong sesuatu.
“Aku sebenarnya suka ama kamu, Cha. Kamu yang manja, kamu yang lucu, suka ketawa. Tapi sepertinya kamu mikirin Putra terus. Kamu akrab banget ama Putra. Aku jadi bingung. Aku sebenarnya malu ngomong kayak gini. Tapi lebih baik aku ngomong ma kamu biar kamu tahu.” Rizal melanjutkan omongannya.
“Riz, ternyata kamu menyimpan perasaan ke aku? Aku sama sekali nggak tahu. Aku hanya tahu kamu perhatian ke aku sama kayak perhatian ke teman-teman. Tapi makasih banget karena kamu udah mau jujur. Itu berharga banget buat aku.” kataku sambil menatap Rizal dengan serius. “Ya udah, aku capek Riz. Aku mau tidur dulu ya.”
Rizal diam tak menjawabku. Aku beranjak ke kamarku. Sesampainya di kamar, aku rebahkan tubuhku ke tempat tidur. Aku coba untuk memejamkan mataku tapi tak busa. Aku memikirkan Rizal dan Putra. Tiba-tiba Fania sms.
Hai Cha, sibuk banget kamu sampai-sampai nggak sms aku. Awas kamu kalau pulang nggak bawa oleh-oleh dari Jogja. Dapet salam dari Evan dan teman-teman yang lain.
Ah aku juga malas membalas sms Fania. Aku masih memikirkan Rizal dan Putra. Seminggu ini aku lalui hariku dengan tak jelas. Aku lebih banyak diam tapi aku jaga sikapku jangan sampai membuat teman-teman curiga. Aku juga berpikir untuk terima Rizal karena dia terus meminta kejelasanku. Seminggu itu berakhir dan kami pun kembali ke daerah masing-masing. Dan aku akhirnya menerima Rizal. Aku dan Rizal satu daerah tapi sekolah dan tempat tinggal kami lumayan jauh. Kami berdua hanya menjalani hubungan jarak jauh. Aku juga tak begitu memikirkan Rizal karena aku konsentrasi ke Ujian Nasional yang tak berapa lama lagi aku hadapi. Aku tak ingin gagal dan aku ingin meneruskan ke UGM. Aku harus benar-benar serius.
Cha, kenapa balik ke Bandung nggak kasih kabar ke aku? Aku ke asrama tapi kamu udah nggak ada. Maaf ya Cha, aku sibuk dengan skripsiku. Sekarang aku udah wisuda dan aku bekerja di Rumah Sakit di Jogja. Belajar rajin Cha. Kalau kamu jadi kuliah di UGM kabarin aku ya. Putra.
Aku kaget karena tiba-tiba Putra sms.
Put. Doain aku ya. UGM? Impianku. Nanti aku kabarin kamu. Pasti!
Akhirnya Rizal meminta hubungan ini berakhir. Aku tak tahu kenapa Rizal begitu. Bukankah dia yang dulu memintaku untuk jadi miliknya? Tapi aku juga tak mau larut dengan hal itu. Aku tetap konsentrasi ke ujianku. Ujian di depan mata.
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Ujian dan SPMB sudah aku ikuti. Kini aku harus siap menerima hasil ujianku dan juga SPMB. Hingga saatnya pengumuman SPMB dan ujian tiba, ternyata aku lulus dan diterima di Fakultas Kedokteran UGM.
“Fan, aku berangkat dulu yah. Ibu, Bapak baik-baik di rumah ya. Cha pergi dulu. Doain Cha ya.” aku berpamitan dengan orang tuaku dan Fania.
“Cha, salam buat Putra ya. Nanti kalau kamu ketemu dia di Jogja bilang ke dia suruh maen ke Bandung.” pinta Fania kepadaku.
“Ok deh, Fan. Tenang aja.” jawabku.
“Cha, hati-hati ya di sana. Jadi anak yang baik. Nggak usah aneh-aneh. Shalat dan terus berdoa.” Ibu berpesan kepadaku dengan air mata yang tak bisa dibendungnya. Aku mengangguk. Aku berjanji Bu. Aku akan menjemput hari yang lebih cerah di sana.
Put, aku udah di Jogja. Kemarin aku sampai di Jogja dan sekarang aku kos di Jalan Kaliurang. Put, bantu aku ya.
Sekali lagi aku sms Putra.
Akhirnya aku dan Putra sering bertemu. Aku sudah tak mengharapkan Putra lagi karena dia sudah ada yang memiliki. Tiba-tiba…
“Gimana, Cha? kamu lulus kan?” aku mendengar suara Putra. Saat itu aku sedang membaca majalah di depan kamar kosku.
“Eh Putra. Maaf aku terlalu asik dengan majalah ini jadi nggak sadar kamu di sini. Aku lulus SPMB dan aku bisa masuk Kedokteran.” kataku dengan bahagia.
“Syukur Alhamdulillah, Cha.” Putra tersenyum. “Ayo aku traktir kamu, mau kemana? Makan aja yuk sekalian jalan-jalan.” ajak Putra.
“Ok, Put. Tunggu dulu, aku ganti baju dulu.” aku masuk kamar.
Hari ini begitu membahagiakan. Tiba-tiba…
“Cha, kenapa kamu pulang nggak pamit. Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar ke aku?” tanya Putra serius sambil menyetir.
“Maaf, Put. Aku kira nggak perlu kasih tau kamu. Kamu juga sibuk kan? Aku nggak mau ngrepotin kamu.” kataku dengan penuh keseriusan.
“Kalau saja kamu jujur dengan perasaan kamu ke aku…” Putra berhenti bicara, dia menoleh ke arahku. Saat itu lampu lalu-lintas merah.
“Maksud kamu?” aku memotong perkataan Putra karena aku tak mengerti.
“Rizal sudah menjelaskan semua ke aku, Cha. Aku juga punya perasaan yang sama ke kamu. Tapi aku kemarin sibuk skripsi dan tugas-tugas yang lain jadi aku serasa cuek ke kamu.” kata Putra menjelaskan.
Rizal? Rizal tahu nomer Putra? Astaga!
“Tapi… cewek itu siapa, Put?” tanyaku ingin tahu.
“Siapa?” Putra tak mengerti.
“Di kantin itu aku liat foto kamu ma cewek. Waktu dompet kamu kebuka.” lanjutku.
“Ya ampun, Cha. jadi karena itu kamu menghindar dan selalu diam. Itu teman satu fakultasku. Di udah kayak adikku sendiri.” Putra ketawa. Ternyata aku salah paham.
“Jadi gimana?” Putra melirikku.
“Apa?” aku tersenyum.
            “Kita?” Putra masih saja dengan kalimat-kalimat yang penuh kode itu.
            “Ya udah, tuh udah hijau lampunya. Jalan yuk.” aku juga menjawab dengan kalimat penuh kode rahasia. Aku tersenyum.
            Aku buka tasku dan mengambil hp-ku.
            Rizal yang baik hati. Terima kasih semuanya. Aku bahagia di Jogja. Semoga kamu selalu bahagia. Doain aku yah. Decha.
            Tak lama kemudian…
            Decha yang manja. Aku doain selalu. Kamu baik-baik di Jogja. Decha, aku bahagia bersama seorang cewek yang manjanya mirip ama kamu. Baik-baik selalu ya. Rizal.
            Aku bagai terbang. Putra bersamaku. Hari-hariku di kampus menyenangkan. Putra terus sibuk di Rumah Sakit. Dia dokter yang baik. Dia mengerti aku. Ibu? Bapak? Mereka selalu bertanya kabarku. Mereka baik-baik di Bandung. Ya Allah terima kasih atas semua ini.