Sunday 11 December 2011

Cerpen Gila-ku

(ini sebenarnya hanyalah cerpen yang kubuat sewaktu SMA untuk tugas pelajaran Bahasa Indonesia. Sungguh mawut dan amburadul, hehe)

Cita dan Cinta
Pagi yang menyebalkan. Aku berlari menuju sebuah halte bus, tempat biasanya aku menunggu bus yang melalui sekolahku. Tujuh kurang lima menit, cemas, itu yang aku rasakan. Di tempat aku berdiri, ternyata tak hanya aku yang bermuka cemas pagi itu. Seperti biasa, Fania dan Evan, teman satu sekolahku juga menunggu bus dengan cemasnya karena dikejar waktu.
            “Fan, hehehe.. Kita kompakan terus nih!” sapaku kepada Fania.
            “Dasar kamu Cha, bukannya kompakan nih tapi emang dari lahir kita udah janjian buat telat bareng. Hehehe, bukannya Ibu kamu dulu ngidamnya sama ma Ibuku. Jadi kita ya hobinya sama, telat. Habis ngidamnya sayur kangkung, jadi lemes bin lemot gitu, coba aja ngidamnya daging burung unta, pasti beringas. Wahahaha….” celoteh Fania yang emang anaknya terkenal cerewet.
            “Ah dasar kamu! Enak aja aku disamain ma kamu, lemotnya tuh parah kamu. Amit-amit aku disamain ma kamu.” balasku mengejek.
            “Ehm!” Evan yang dicuekin dari tadi mulai unjuk gigi. “Aku jadi obat nyamuk ya.” sambungnya.
            “Lhah, Van. Mana ada pagi-pagi gini nyamuk ikut nunggu bus di halte. Lagian kamu jadi obat nyamuk segala. Mubadziiirrrr!” aku nyengir ke Evan sambil memalingkan muka.
            “Ah reseh kamu Cha.” balas Evan sambil membuang muka dariku.
            Akhirnya bus yang menuju sekolahku sudah terlihat dari kejauhan. Aku, Fania, dan Evan siap-siap berebut tempat duduk di bus itu. Tak lama kemudian bus sudah di depan kami. Ah ternyata busnya penuh sesak tapi kami bertiga tetap naik karena sudah dikejar waktu.
            “Hah! Kayak biasanya nih, kita musti dipepet-pepet sama  abang-abang yang pada belum mandi ini.” bisikku pada Fania dan Evan.
            “Sssssst! Kamu tuh kebiasaan, tar ada yang denger gimana. Mau dikasih burketnya abang-abang itu?” Evan nyeletuk.
            “Dasar kamu Cha!” Fania nyengir.
            Tak terasa bus udah di depan sekolah. Kami pun turun. Tujuh lebih sepuluh menit. Aduh! Gerbang sekolah sudah ditutup. Terpaksa kami harus meminta surat ijin ke kantor dulu.
            Tok.. tok.. tok..
            “Masuk!” suara Bu Tika terdengar sayu dari luar kelas.
“Maaf Bu, kami telat.” aku meminta ijin masuk. “Busnya lama, Bu.” kataku lagi.
“Sudah berapa kali Ibu bilang, kalian harus datang lebih awal. Cepat duduk!” kata Bu Tika tegas.
“Baik, Bu. Terima kasih.” jawab kami serempak.
Aku duduk di bangku nomer dua dari depan. Fania dan Evan duduk satu meja, tepat di belakangku. Aku baru sadar kalau Danar, temanku satu meja tidak masuk sekolah.
“Ngomong-ngomong Danar kemana, Gan?” tanyaku ke Gana. “Nggak masuk sekolah dia?” tanyaku lagi.
“Sakit katanya Cha. Tadi pagi telpon aku buat diijinin ke guru.” jawab Gana.
“Ohh! Thanks yah.” kataku.
Waktu terus berjalan. Satu demi satu pelajaran sudah terlalui. Tak terasa sudah pukul sembilan lebih lima belas menit.
Kring.. kring.. kring..
“Hah! Akhirnya istirahat juga. Ke kantin yuk, Cha. Laper nih.” ajak Fania.
“Entar aja deh! Sana ajak aja si Evan. Aku mau dikelas dulu.” jawabku tak menghiraukan.
“Ya udah deh! Duluan ya.” Fania dan Evan berlari ke kantin.
Tiba-tiba ada pengumuman dari guru lewat speaker yang ada di pojok atas tiap-tiap kelas. Intinya aku masuk dalam daftar pencarian orang. Ups! Kayak napi aja. Aku bergegas ke ruang guru saat itu juga. Ternyata aku masuk seleksi pertukaran pelajar antar daerah.
“Gila Fan, aku lulus seleksi nih. Lusa aku udah ikut pertukaran pelajar. Mungkin empat bulan ini aku pisah ama kamu nih.” kataku ke Fania.
“Ya ampun, Decha! Beneran kamu?” Fania kaget. “Nggak aku sangka orang sebego kamu bisa lulus seleksi itu, hahaha….”
“Enak aja kamu. Decha gitu loh, inget nama ini Decha Anggita, wakil dari SMA Wirabuwana.” kataku dengan bangganya.
Ah akhirnya pelajaran hari ini selesai juga. Aku ingin cepat-cepat pulang dan mempersiapkan segalanya. Aku yang biasanya pulang bareng-bareng dengan Fania dan Evan, hari ini pulang sendiri karena ingin cepat-cepat sampai rumah.
“Assalamualaikum, Bu.” aku masuk rumah dan mencari Ibu.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Ibu. “Udah pulang kamu, Cha? Tumben kamu kelihatan seneng banget.”
“Iya, Bu. Decha lulus seleksi pertukaran pelajar. Kan udah kelas tiga nih Bu, jadi kesempatan terakhir bisa ikut pertukaran pelajar. Lusa Decha udah berangkat ke Jogja. Doain ya, Bu” kataku dengan gembira.
“Alhamdulillah, Cha. Pokoknya nanti hati-hati ya di sana. Jangan lupa shalat dan berdoa. Belajar juga, kan udah kelas tiga.” Ibu menasehatiku.
“Iya, Bu,” jawabku. “Decha ke kamar dulu, Bu.” aku bergegas ke kamar.
Aku merebahkan diri di tempat tidurku. Hari itu rasanya senang tapi juga sedikit sedih. Bapak yang selalu sibuk dengan urusan kantor hampir-hampir tak tahu perkembanganku, perjuanganku menghadapi masa-masa remajaku. Ah biarlah, toh aku sudah berkecukupan karena Bapak.
Tiba saatnya aku berangkat ke Jogja. Bandung-Jogja aku tempuh dengan bus malam. Aku berangkat sore hari dan sampai di Jogja pagi hari. Lalu aku mencari asrama pelajar yang sudah ditentukan. Ternyata asrama itu tidak jauh dari Malioboro. Pusat perbelanjaan di Jogja. Akhirnya sampai juga aku di kamarku. Aku istirahat seharian dan kemudian malamnya aku berjalan-jalan ke Malioboro bersama teman-teman satu asrama yang ikut dalam pertukaran pelajar itu. Aku sangat cepat menyesuaikan diri dan akrab dengan mereka.
“Eh kita jalan-jalan yuk, mumpung tugas kita belum banyak. Kan kita besok musti ke SMA 1 Jogja buat ikut program pertukaran pelajar ini, trus habis itu kita musti studi juga ke kampus UGM buat bahan karya tulis kita. Jadi sekarang santai-santai dulu.” ajakku ke teman-teman.
“Ok, Cha. Kita cuci mata dulu yuk! Siapa tahu di sini kita-kita dapet kecengan gitu.” kata Rani, pelajar asal Medan yang genitnya minta ampun.
“Wah bagus tuh.” sahut Rizal yang juga pelajar asal Bandung.
Teman-teman yang lain juga setuju. Akhirnya kami berangkat ke Malioboro dengan berjalan kaki.
“Wah! Ternyata asik juga ya suasana malam di Jogja tuh.” kata Meida, pelajar asal Ujung Pandang yang anaknya kalem banget.
“Bener banget tuh Mei, baru kali ini aku ke Jogja.” sahut Rizal.
Waktu aku melihat-lihat souvenir yang dijual di sepanjang jalan Malioboro, seorang laki-laki yang kira-kira umurnya tujuh tahun lebih tua dariku tiba-tiba menyapaku.
“Cha, kamu kah itu?” kata lelaki itu menepuk bahuku.
“Ehm.” aku menoleh kaget. Kulihat lelaki itu dengan terheran-heran. Ternyata dia adalah sahabatku waktu kecil. Putra.
“Putra?” tanyaku terheran-heran.
“Yup, it’s me, Putra.” Putra menjawab dengan lagaknya yang sok.
“Hai apa kabar kamu? Wah wah kamu sekarang udah keliatan kayak bapak-bapak. Dulu kamu tuh dekil banget, liat sekarang, udah sukses kamu ya?” aku ngomong terlalu keras karena terkejutnya sampai-sampai orang di sekelilingku melihatku.
“Ah biasa aja kali, Cha. Aku baik-baik aja Cha, tadi aku  ragu mau nyapa kamu. Aku takut salah orang. Habis kamu sekarang udah gede. Hehehe.. Kok kamu di Jogja Cha? Lagi liburan ya?” tanya Putra.
“Nggak, Put. Aku ada pertukaran pelajar selama empat bulan di Jogja. Eh bentar ya.” aku mendekati rombonganku tadi.
“Eh teman-teman kalian duluan aja, nanti aku nyusul ya.” kataku ke teman-teman yang lain.
“Ok, Cha. Kamu hati-hati ya. Nanti kamu sms aku aja kalau udah selesai biar nanti kita bisa ketemu dimana gitu trus pulang bareng.” jawab Rizal.
“Ok!” jawabku.
Aku beralih ke Putra. Wow! Putra jauh berbeda dengan Putra yang aku kenal dulu. Putra yang dulu hitam, dekil, nakal, dan suka jailin aku, sekarang sudah berubah jadi Putra yang ehmmm, bisa dibilang keren. Setahu aku Putra kuliah di UGM Fakultas Kedokteran. Sepuluh tahun yang lalu dia dan keluarganya pindah ke Jogja karena orang tuanya pindah tugas ke Jogja.
“Eh Put, denger-denger kamu nerusin di UGM ya?” tanyaku.
“Iya, udah hampir enam tahun aku kuliah nih. Hehehe tapi belum lulus-lulus. Maklum aku kan pemalas. Sifat malasku nggak berubah dari dulu. Kamu sendiri?” Putra berbicara dengan gaya bicara yang khas.
“Aku sekarang kelas tiga, Put. Yah aku ikut pertukaran pelajar karena ini kesempatan terakhir aku bisa ikut. Sekalian buat pengalaman dan sekaligus rekreasi gitu.” jawabku sambil nyengar-nyengir. “Oh iya, Put. Kamu kan kuliah di UGM nih, sekalian dong aku dibantuin. Kan ada program buat karya tulis gitu tentang kampus kamu itu. Bantuin aku dan teman-teman yang lain yah. Anterin muter-muter ke kampus kamu.” pintaku ke Putra.
“Ok, Cha. Siiip deh! Nanti aku jemput kalian di asrama kalian aja. Takutnya nanti kamu kesasar di Jogja. Terus kita muter-muter kampus, mau nggak?” Putra nawarin bantuan.
“Ehm, setuju banget Put. Ok deh kalau gitu. Ya udah Put, tukeran nomer hp dulu yuk, biar gampang buat komunikasi. Nanti kalau ada apa-apa busa sms atau telpon. Nih nomer hpku, catet ya. Nomer kamu berapa, Put?” aku tukeran nomer hp dengan Putra sambil saling menyebutkan nomer masing-masing.
“Ok deh siip.” jawab Putra.
“Ya udah, Put. Thanks ya. Aku mau cabut dulu nih. Udah malam. Takut teman-teman pada nungguin aku. Ketemu lagi besok yah.”
“Ok deh, Cha. Hati-hati yah!” kata Putra.
Aku meninggalkan Putra di tengah keramaian Malioboro. Aku bergegas mencari teman serombonganku. Tak lama kemudian aku menemukan mereka dan kami pun pulang ke asrama. Malam itu benar-benar suatu kebetulan karena aku busa bertemu dengan Putra. Sahabatku yang sudah lama berpisah denganku. Di kamar asramaku aku hanya memikirkan Putra. Putra yang sekarang sudah berubah dengan drastis. Putra yang lebih dewasa. Hingga akhirnya aku tertidur.
“Cha, bangun udah pagi. Cepat mandi, takut kita nanti telat ke SMA 1 Jogja terus masih ada acara juga nanti di UGM.” Rizal membangunkanku. Ternyata aku ketiduran tadi malam.
Putra sms aku.
Cha, hari ini aku free. Katanya kamu ama teman-temanmu ada acara di UGM buat karya tulis. Mau aku jemput jam berapa?
Kemudian aku membalas smsnya
Maaf Put baru balas. Aku baru bangun. Nanti jam sebelas kamu ke asrama. Aku pagi ini ada acara di SMA 1 Jogja. Thanks.
Rizal di lantai bawah sedang asik menyiapkan sarapan buat teman-teman asrama. Rizal itu anaknya baik. Dia perhatian dengan teman-temannya.
“Ehm yummy banget Riz, telor goreng ama mie goreng yang mengundang selera nih.” kataku sambil berjalan menuju meja makan.
“Iya dong, Cha. Chef Rizal gitu loh.” Rizal menimpali dengan bangganya. “Tuh teman-teman udah pada turun. Makan bareng-bareng yuk.”
“Huhuhu, si Koki udah masak ya, ah senangnya ada koki yang baik hati.” kata Rani sambil berlari ke arah makanan yang udah siap buat disantap.
“Haduh… Ga berubah kelakuan anak satu ini.” Rizal terheran-heran dengan tingkah Rani yang bukan maen usilnya.
Rizal, Meida, Rani, dan aku akhirnya makan bersama. Walaupun baru kenal, kami sudah merasa dekat. Setelah itu kami bergegas ke SMA 1 Jogja. Waktu cepat berlalu. Di SMA 1 kami melihat-lihat keadaan SMA, kegiatan belajar mengajar di SMA itu dan segala fasilitas di SMA itu. Selama di SMA itu, aku dan Rizal saling bertukar cerita dan tak tahu kenapa, hari itu aku dan Rizal begitu dekat. Akhirnya kami kembali ke asrama pukul sepuluh lewat tiga puluh menit.
“Ah! Capek banget yah teman-teman. Kita istirahat bentar aja soalnya habis ini Putra jemput kita untuk lihat-lihat kampus UGM.” kataku ke Rani, Meida, dan Rizal.
            Tak lama kemudian Putra sudah menjemput kami. Kami pun naik ke mobilnya dan menuju ke UGM. Aku duduk di depan bersebelahan dengan Putra. Aku dan Putra ngobrol dengan asik dan tak terasa kami sudah sampai di kampus UGM. Kami pun turun dan segera melihat-lihat kampus, ke fakultas yang kami rasa penting untuk karya tulis, dan melihat fasilitas-fasilitas kampus. Aku pun sudah lama berniat melanjutkan kuliah ke UGM dan mengambil Fakultas Kedokteran. Keinginanku semakin kuat.
            “Put, aku pengen banget deh kuliah di kampus ini. Pengen jadi junior kamu tau nggak. Udah lama sih aku pengen, apalagi udah lihat kampusnya, jadi makin demen aku.” aku membuka percakapan dengan Putra.
            “Wah! Bagus dong, tapi bentar lagi aku lulus, Cha. Nanti aku kasih tahu soal kampus ini deh.” kata Putra.
            Rizal dari tadi terlihat murung. Mungkin Rizal sakit.
            “Riz, kamu sakit? Kok dari tadi muka kamu muram gitu.” tanyaku.
            “Nggak, Cha. Aku cuma capek aja kok. Tapi nggak apa-apa. Nanti pulang terus istirahat.” jawab Rizal dingin.
            Setelah dirasa cukup, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke kantin Fakultas Kedokteran. Fakultas dimana Putra berkutat dengan dunia kampusnya. Kami makan siang disana. Putra mentraktir kami. Sewaktu Putra membuka dompetnya, aku melihat foto Putra dengan seorang wanita yang menurutku dewasa dan cantik. Tak tahu kenapa aku jadi bingung dan diam. Aku dan Rizal sekarang sama-sama diam. Akhirnya kami pulang ke asrama dan Putra kembali ke rumahnya setelah mengantar kami.
Di Jogja kami lalui hari-hari kami secara normal. Sudah hampir empat bulan kami di Jogja dan satu minggu lagi kami semua kembali ke daerah masing-masing. Aku semakin akrab dengan teman-temanku di asrama, terutama Rizal. Putra? Aku sudah jarang berkomunikasi dengan dia. Mungkin dia juga sibuk dengan kuliahnya dan pacarnya.
“Sebentar lagi tugas kita selesai, kebersamaan kita juga akan berakhir. Tapi kita jaga komunikasi kita ya.” kata Rizal memecah kesunyian di ruang tengah asrama.
“Setuju Riz, kita harus tetap kompak ya.” sahutku.
“Yup yup, setuju.” jawab Rani dan Meida kompak.
Akhirnya kami mengobrol sampai pukul sembilan. Rani dan Meida bergegas menuju kamar masing-masing karena sudah lelah dengan tugas harian. Di ruangan itu tinggal aku dan Rizal. Aku enggan berada di kamar sendiri karena aku terus saja memikirkan Putra.
“Kamu nggak tidur, Cha? Nggak capek kamu? Tidur gih!” kata Rizal menyuruhku beristirahat.
“Bentar Riz. Aku lagi males sendirian di kamar. Rasanya sepi dan ada aja yang aku pikirkan.” kataku menjelaskan.
“Ya udah aku temenin deh.” Rizal selalu terlihat perhatian kepadaku.
“Kamu kok perhatian sih Riz ke aku. Makasih ya.” aku merasa senang diperhatikan oleh Rizal.
“Kita di sini tinggal seminggu lagi. Aku senang kenal ma kalian, aku senang kenal ma kamu, Cha.” kata Rizal serius. Akan tetapi, aku tak tahu maksud Rizal.
“Me too, Riz. Kamu tuh bener-bener temen yang baek, perhatian dan yang pasti koki yang hebat, hehehe.” aku menjawab dengan cengengesan.
“Cha…” Rizal sepertinya ingin ngomong sesuatu.
“Aku sebenarnya suka ama kamu, Cha. Kamu yang manja, kamu yang lucu, suka ketawa. Tapi sepertinya kamu mikirin Putra terus. Kamu akrab banget ama Putra. Aku jadi bingung. Aku sebenarnya malu ngomong kayak gini. Tapi lebih baik aku ngomong ma kamu biar kamu tahu.” Rizal melanjutkan omongannya.
“Riz, ternyata kamu menyimpan perasaan ke aku? Aku sama sekali nggak tahu. Aku hanya tahu kamu perhatian ke aku sama kayak perhatian ke teman-teman. Tapi makasih banget karena kamu udah mau jujur. Itu berharga banget buat aku.” kataku sambil menatap Rizal dengan serius. “Ya udah, aku capek Riz. Aku mau tidur dulu ya.”
Rizal diam tak menjawabku. Aku beranjak ke kamarku. Sesampainya di kamar, aku rebahkan tubuhku ke tempat tidur. Aku coba untuk memejamkan mataku tapi tak busa. Aku memikirkan Rizal dan Putra. Tiba-tiba Fania sms.
Hai Cha, sibuk banget kamu sampai-sampai nggak sms aku. Awas kamu kalau pulang nggak bawa oleh-oleh dari Jogja. Dapet salam dari Evan dan teman-teman yang lain.
Ah aku juga malas membalas sms Fania. Aku masih memikirkan Rizal dan Putra. Seminggu ini aku lalui hariku dengan tak jelas. Aku lebih banyak diam tapi aku jaga sikapku jangan sampai membuat teman-teman curiga. Aku juga berpikir untuk terima Rizal karena dia terus meminta kejelasanku. Seminggu itu berakhir dan kami pun kembali ke daerah masing-masing. Dan aku akhirnya menerima Rizal. Aku dan Rizal satu daerah tapi sekolah dan tempat tinggal kami lumayan jauh. Kami berdua hanya menjalani hubungan jarak jauh. Aku juga tak begitu memikirkan Rizal karena aku konsentrasi ke Ujian Nasional yang tak berapa lama lagi aku hadapi. Aku tak ingin gagal dan aku ingin meneruskan ke UGM. Aku harus benar-benar serius.
Cha, kenapa balik ke Bandung nggak kasih kabar ke aku? Aku ke asrama tapi kamu udah nggak ada. Maaf ya Cha, aku sibuk dengan skripsiku. Sekarang aku udah wisuda dan aku bekerja di Rumah Sakit di Jogja. Belajar rajin Cha. Kalau kamu jadi kuliah di UGM kabarin aku ya. Putra.
Aku kaget karena tiba-tiba Putra sms.
Put. Doain aku ya. UGM? Impianku. Nanti aku kabarin kamu. Pasti!
Akhirnya Rizal meminta hubungan ini berakhir. Aku tak tahu kenapa Rizal begitu. Bukankah dia yang dulu memintaku untuk jadi miliknya? Tapi aku juga tak mau larut dengan hal itu. Aku tetap konsentrasi ke ujianku. Ujian di depan mata.
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Ujian dan SPMB sudah aku ikuti. Kini aku harus siap menerima hasil ujianku dan juga SPMB. Hingga saatnya pengumuman SPMB dan ujian tiba, ternyata aku lulus dan diterima di Fakultas Kedokteran UGM.
“Fan, aku berangkat dulu yah. Ibu, Bapak baik-baik di rumah ya. Cha pergi dulu. Doain Cha ya.” aku berpamitan dengan orang tuaku dan Fania.
“Cha, salam buat Putra ya. Nanti kalau kamu ketemu dia di Jogja bilang ke dia suruh maen ke Bandung.” pinta Fania kepadaku.
“Ok deh, Fan. Tenang aja.” jawabku.
“Cha, hati-hati ya di sana. Jadi anak yang baik. Nggak usah aneh-aneh. Shalat dan terus berdoa.” Ibu berpesan kepadaku dengan air mata yang tak bisa dibendungnya. Aku mengangguk. Aku berjanji Bu. Aku akan menjemput hari yang lebih cerah di sana.
Put, aku udah di Jogja. Kemarin aku sampai di Jogja dan sekarang aku kos di Jalan Kaliurang. Put, bantu aku ya.
Sekali lagi aku sms Putra.
Akhirnya aku dan Putra sering bertemu. Aku sudah tak mengharapkan Putra lagi karena dia sudah ada yang memiliki. Tiba-tiba…
“Gimana, Cha? kamu lulus kan?” aku mendengar suara Putra. Saat itu aku sedang membaca majalah di depan kamar kosku.
“Eh Putra. Maaf aku terlalu asik dengan majalah ini jadi nggak sadar kamu di sini. Aku lulus SPMB dan aku bisa masuk Kedokteran.” kataku dengan bahagia.
“Syukur Alhamdulillah, Cha.” Putra tersenyum. “Ayo aku traktir kamu, mau kemana? Makan aja yuk sekalian jalan-jalan.” ajak Putra.
“Ok, Put. Tunggu dulu, aku ganti baju dulu.” aku masuk kamar.
Hari ini begitu membahagiakan. Tiba-tiba…
“Cha, kenapa kamu pulang nggak pamit. Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar ke aku?” tanya Putra serius sambil menyetir.
“Maaf, Put. Aku kira nggak perlu kasih tau kamu. Kamu juga sibuk kan? Aku nggak mau ngrepotin kamu.” kataku dengan penuh keseriusan.
“Kalau saja kamu jujur dengan perasaan kamu ke aku…” Putra berhenti bicara, dia menoleh ke arahku. Saat itu lampu lalu-lintas merah.
“Maksud kamu?” aku memotong perkataan Putra karena aku tak mengerti.
“Rizal sudah menjelaskan semua ke aku, Cha. Aku juga punya perasaan yang sama ke kamu. Tapi aku kemarin sibuk skripsi dan tugas-tugas yang lain jadi aku serasa cuek ke kamu.” kata Putra menjelaskan.
Rizal? Rizal tahu nomer Putra? Astaga!
“Tapi… cewek itu siapa, Put?” tanyaku ingin tahu.
“Siapa?” Putra tak mengerti.
“Di kantin itu aku liat foto kamu ma cewek. Waktu dompet kamu kebuka.” lanjutku.
“Ya ampun, Cha. jadi karena itu kamu menghindar dan selalu diam. Itu teman satu fakultasku. Di udah kayak adikku sendiri.” Putra ketawa. Ternyata aku salah paham.
“Jadi gimana?” Putra melirikku.
“Apa?” aku tersenyum.
            “Kita?” Putra masih saja dengan kalimat-kalimat yang penuh kode itu.
            “Ya udah, tuh udah hijau lampunya. Jalan yuk.” aku juga menjawab dengan kalimat penuh kode rahasia. Aku tersenyum.
            Aku buka tasku dan mengambil hp-ku.
            Rizal yang baik hati. Terima kasih semuanya. Aku bahagia di Jogja. Semoga kamu selalu bahagia. Doain aku yah. Decha.
            Tak lama kemudian…
            Decha yang manja. Aku doain selalu. Kamu baik-baik di Jogja. Decha, aku bahagia bersama seorang cewek yang manjanya mirip ama kamu. Baik-baik selalu ya. Rizal.
            Aku bagai terbang. Putra bersamaku. Hari-hariku di kampus menyenangkan. Putra terus sibuk di Rumah Sakit. Dia dokter yang baik. Dia mengerti aku. Ibu? Bapak? Mereka selalu bertanya kabarku. Mereka baik-baik di Bandung. Ya Allah terima kasih atas semua ini.

No comments: